Rakornas GMNI: Koreksi dan Koreksi






Akhirnya, usai sudah hajatan besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Yakni, Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) GMNI yang dihelat pada tanggal 11-15 Desember 2014 di Wisma Kinasih, Kabupaten Bogor. Sebuah pagelaran GMNI se-Indonesia menghasilkan konsensus-konsensus dalam rangka membangun organisasi ke depan.

Tapi tak ketinggalan pula Rakornas juga menyisakan cibiran-cibiran dari golongan yang merasa dirugikan dalam agenda tersebut. Dan, tampaknya cibiran itu tidak bakal berhenti dalam waktu dekat ini.

Mengintip konstelasi internal GMNI, secara nasional GMNI terbelah menjadi 2 kubu besar – terlepas dari kubu-kubu kecil yang mulai bermunculan –. Secara kasat mata jelas keduanya saling merapatkan kongsinya masing-masing. Di satu sisi ada yang mempertahakan kekuasaan GMNI pusat dan di sisi yang lain berusaha merebutnya.

Sehingga momentum Rakornas menjadi ajang konsolidasi politik internal. Itu tampak dari pantauan penulis, tidak terjadinya dinamika wacana dalam proses Rakornas menjadi salah satu indikatornya. Kelompok kontra Presidium GMNI tetap kukuh mengalahkan kelompok pro dalam setiap proses Rakornas. Sedangkan kelompok pro terpaksa harus melawan, sederhanannya seperti itu. Hasilnya, untuk sementara kelompok pro masih di atas angin.
Dinamika politis akan terus berlanjut sampai perhelatan Kongres GMNI ke-IX di Sikka, Nusa Tenggara Timur, sekitar 6 bulan ke depan. Pertarungannya jelas: perebutan kursi Presidium GMNI. Ambisi itu pada gilirannya menjadi penyakit akut organisasi se-ideologis ini. Betapa tidak, dinamika perebutan kekuasaan pada akhirnya akan membiaskan cita-cita ideologi GMNI: Marhaenisme.

Sebab, dalam perebutan kekuasaan yang tidak dibarengi ke-legowo-an di satu pihak membuat setiap insan di GMNI akan menjadi makhluk Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi yang lainnya). Kelompok minor di akan terus dihantui kelompok mayor yang selalu berwatak 'predatoris'. Makhluk semacam itu jika tidak memangsa pasti menjalankan mekanisme 'hubungan saling menguntungkan' (mutual relationship). Sekiranya kita sepakat jika hal itu tidak pernah diinginkan di GMNI.

Roh Rakornas ? Telah Tercabut


Rapat koordinasi yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi organisasi, bahkan dalam titik tertentu menjadi ajang konsolidasi ideologi, nyatanya tidak demikian. Aura konsolidasi politik lebih terasa. Sehingga dalam prakteknya, terjadi bloking-bloking terhadap cabang yang dianggap berpengaruh, tapi juga aksi sepihak di setiap proses Rakornas. Dan yang didengungkan tentang roh Rakornas terasa hambar.

Pasalnya, gagasan mengembalikan roh Rakornas ke sejatinya Rakornas dibarengi aksi sepihak dalam proses Rakornas. Sehingga gagasan roh Rakornas dikemas dengan bahasa se-intelektual apapun akan mental, karena lagi-lagi ada muatan kepentingan golongan tertentu dalam gagasan tersebut. Itu artinya, penggagas mengembalikan roh Rakornas sama artinya mencabut roh itu secara terang-terangan.

Lalu apa yang harus dilakukan?. Sebelum memaknai setiap agenda ornganisasi, semacam Rakornas, ke makna fungsionalnya, maka yang harus dahulu diperhatikan adalah makna kepemimpinan secara filosofis. Karena semakin posisi kursi kepemimpinan GMNI menjadi prestisius, saat itu pula berebut kuasa menjadi niscaya. Jika itu terjadi setiap agenda organisasi akan terus dimaknai dengan fungsi politis. Maka mengembalikan fungsi kepemimpinan secara filosofis menjadi keharusan.
Kepemimpinan yang filosofis harus menjadikan pemimpin sebagai Infinite Player. Maksudnya adalah pemain abadi yang bermain semata-mata untuk keabadian nama. Ia tak mengejar gelar, piala, uang dan kekuasaan. Tujuan memimpinnya hanyalah untuk integritas dan kesetiaannya pada cita-cita ideologi. Proses ini harus dimulai dari bawah ke atas. Sebab kita sepaham jika pemimpin harus dari bawah.

Namun, sebelum itu kesepakatan sistem harus menjadi konsensus bersama tanpa tendensi dan atas kesadaran akan kebutuhan organisasi. Sebab, membangun kepemimpinan adalah membangun budaya yang telah membumi dalam internal organisasi.

Mengoreksi GMNI


Kesiapan GMNI di tingkat pusat berbanding terbalik dengan kesiapan menerima kritik, setidaknya itu argumentasi faksi kontra presidium. Hal itu menceruat ketika opsi pandangan umum dipaksakan untuk dirubah di agenda persidangan. Diganti dengan progres report setiap cabang GMNI. Praktis itu membuka kran perlawanan terhadap pimpinan pusat.

Dalam sebuah organisasi manapun, jika kesiapan menerima kritik itu tidak ada, akan berpotensi menumbuhkan konflik bagi kelompok yang tidak sepaham. Dalam konteks ini, dibutuhkan koreksi besar. Koreksi GMNI berorientasikan perubahan posisi GMNI dan desainnya.
Arus politik yang jauh beda dengan tahun 1966, 1974, dan 1998 memaksa GMNI harus merubah pola 'jalanan' menjadi gerakan intelektual ideologis.
Kebutuhan akan perubahan ini adalah satu langkah maju sebelum merumuskan ideologi sesuai konteks kekinian. Usaha setidaknya mengikis ilusi politik GMNI yang selama ini dipandang absurd, karena ketidakmampuan GMNI sendiri menerjemahkan arti doktrin-doktrin ideologi.

Oleh : Anam Koenam