
Ini bisa dijadikan sebagai salah satu
bukti mengapa Indonesia masih saja menjadikan barat sebagai kiblat pembangunan
dan menihilkan kearifan lokal sebagai sebuah sistem sosial yang sudah eksis
bahkan sebelum perjanjian weshpalia sebagai cikal bakal konsep bernegara lahir,
hal ini juga diperparah dengan pembangunan yang menurut istilah Noer Fauzi
dalam “Memahami Gerakan Rakyat Dunia Ketiga”senantiasa dikodekan dengan idiom
moral bahwasannya pembangunan identik denga perkotaan. Persoalan ketimpangan
perlakuan terhadap desa tidak hanya berimplikasi pada tidak meratanya
penyediaan infastruktur dalam konteks pembangunan tapi juga akan menjadi prolog dari persoalan demografis di negara
ini, contoh yang paling faktual adalah eksodus besar-besaran masyarakat
pedesaan menuju perkotaan dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan
penghidupan yang lebih layak, jika ditelaah lebih jauh hal tersebut merupakan
sebuah sinyalemen negatif dari realisasi program-program yang berkenaan dengan
aspek pemerataan dan pembangunan di negara ini.
Perlu diperhatikan juga bahwa proyek-proyek
pembangunan yang dikomandoi oleh instrumen global lewat perbantuan negara
acapkali meredusir atau bahkanmendistorsi makna keberdirian desa, J.H Boeke
seorang Indologi berkebangsaan Belanda pernah merilis sebuah hasil penelitian
bahwa :
Indonesia secara
umum adalah kehidupan masyarakat beragama yang terdiri dari Petani.
Meskipun J.H Boeke nampak agak parsial karena tidak dicantumkannya unsur
nelayan mengingat Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, namun
definisinya bisa dikatakan relevan terlebih sensus yang dilakukan BPS3
pada 2013 menunjukan bahwa Indonesia dihuni oleh 31,7 juta rumah tangga petani,
bandingkan dengan PNS yang hanya sejumlah 4,5 juta rumah tangga dan wirausahawan
yang hanya berjumlah 1,5 juta rumah tangga. Bentuk yang cukup fatal lainnya
adalah asosiasi desa sebagai aspek yang hanya bersifat komplementer terhadap
kehidupan masyarakat di kota, Titik koordinat pembangunan di desa juga
hanya menyentuh ruang-ruang
infrastruktur, itupun tidak bersifat menyeluruh. Maka jangan heran jika suatu
saat nanti stigma bahwa masyarakat desa itu adalah masyarakat tertinggal dan
terbelakang bisa berubah menjadi sebuah aksioma.
Negara Dan Desa
Desa atau apapun bentuk pengucapan dan penggunaan istilah lainnya sudah eksis jauh sebelum Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang merdeka, ada nagari di Minangkabau, Gampong di Aceh, Wanna di Minahasa dan Matawi di Bugis. Ini bisa dibuktikan dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) disana disebutkan bahwa :
“Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelbefsturende landschappen dan Volksgemeenschappen”, seperti di Jawa dan Bali. Daerah itu Mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan Kedudukan daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Oleh
sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan
hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsepsi
Desa dan Negara yang tidak saling menegasikan diri seperti tercantum dalam UUD
seperti tersebut mungkin akan sulit ditemukan di belahan bumi lain terlebih
mereka yang terpengaruh oleh pembedaan antara gemeinschaft (Paguyuban) dan gesellschaft
(Patembayan)4. Dimana negara identik dengan gesellschaft
yang kurtwille (Keputusan Rasional)
sedangkan komunitas kemasyarakatan seperti desa identik dengan gemeinschaft yang wesenwille(terkait dengan insting, perasaan dan kebiasaan) oleh karenanya
teori pembentukan negara menjadi persis seperti yang dikatakan Rousseau yaitu
Kontraktual dan Transaksional, terjadi lewat kontrak sosial di dalam struktur
masyarakat. Hal seperti itu mutlak berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia
seperti yangBung Karno pernah tuturkan bahwa terbentuknya negara Indonesia
lahir lewat persamaan rasa dan persamaan nasib sehingga memunculkan kehendak
untuk merdeka, maka pandangan jumud yang acapkali dijadikan basis perbedaan
perlakuan terhadap daerah-daerah dalam hal ini kota-desa, barat-timur,
utara-selatan, jawa-sumatera adalah mutlak keliru.
Pembangunan Desa
Untuk membangun Desa agar menjadi komponen penting kebesaran Indonesia tidaklah terlalu mudah tapi tidak juga secara otomatis menjadi sulit, yang menjadi kunci adalah pemahaman tentang karakteristik dan kultur masyarakat pedesaan yang tersebar di seantero nusantara. Selama kurun waktu kebelakang, uang dan teknologi yang belum terlalu dipahami masyarakat seringkali dijadikan instrumen untuk pembangunan di wilayah desa tanpa lagi memasukan unsur partisipasi warga sehingga rasa kepemilikian terhadap desanya masing-masing menjadi semakin terkikis. Metode semacam ini sudah harus mulai ditinggalkan, pembangunan desa tidak bisa hanya dibebankan pada beberapa orang insinyur yang pada dasarnya belum tentu memahami karakteristik dan kultur desa yang penulis sampaikan diatas.
Pemerintah desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat tentu harus menjadi pionir pembangunan dengan melibatkan seluruh masyarakat yang mengusung semangat gotong royong dan disertai pemanfaatan kearifan lokal juga sumber daya alam desa, metode swakelola semacam ini bukan hanya akan meningkatkan interaksi antar individu dalam masyarakat tapi juga akan menjadi media pembelajaran yang baik bagi seluruh masyarakat pedesaan.Selain partisipasi, Musyawarah juga menjadi aspek normatif yang tidak bisa dilewatkan. Musyawarah harus dijadikan mekanisme untuk menentukan arah pembangunan agar orientasi dari semangat pembangunan desa menjadi lebih efektif dan terarah tidak bersifat proyek tapi lebih berkesinambungan.
Agar warna kolektif dan partisipatoris ini
tetap terjaga maka eksponen yang terlibat harus jeli dalam mengembangkan
potensi ekonomi lokal fisik dan nonfisik lewat aktifitas pemberdayaan warga
seperti yang terjadi di beberapa desa di Yogyakarta, Mereka mampu menangkap
sinyal positif dari pembudidayaan ikan air tawar sehingga menjadi desa yang
berkontribusi besar terhadap pembangunan negara lewat kemampuannya memenuhi
kebutuhan konsumsi ikan regional dan tidak terlibat dalam arus urbanisasi.
Perlu dicatat bahwa kemampuan membangun basis ekonomi lokal yang kolektif
seperti contoh tersebut hanya terjadi di beberapa desa saja, mayoritas desa
yang lain masih terjebak oleh paradigma berfikir yang keliru bahwasannya sumber
perekonomian hanya bisa diakses di kawasan perkotaan, oleh karenanya negara
lewat aparatur pemerintahan harus mengambil peran yang lebih aktif dalam
memberikan pemahaman untuk menghalau kekeliruan berfikir semacam itu.
Bagaimanapun Desa dan Negara dalam konteks
pembangunan harus tetap bersifat resiprokalistik, lokus pembangunan negara yang
selama ini ada di perkotaan sudah harus mutlak bergeser juga ke pedesaan agar
tujuan para founding fathers untuk
menciptakan masyarakat adil makmur dan berkeadilan sosial bisa terwujud, di
sisi lain pembangunan desa harus tetap berada dalam koordinasi negara agar
tidak tercipta ekses otonomi yang justru merusak relasi desa/kota/provinsi
dengan negara. Dengan terciptanya soliditas misi pembangunan antara negara dan
desa maka sentralisasi kemakmuran yang selama ini berada di perkotaan
diharapkan tidak lagi terjadi. Disamping mampu mendapatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat desa juga akan menjadi komponen penting dalam menjaga
kelestarian kearifan lokal (gotong royong). Hal ini bisa terjadi jika
masyarakat desa mampu dan atau dikondisikan untuk mampu membangun basis ekonomi
yang kolektif dan partisipatoris guna menunjang pembangunan.
oleh :Fahmi Iswahyudi
ketua DPC GMNI Bandung
ketua DPC GMNI Bandung
Daftar Pustaka
1.
Wikipedia, post colonial mentality, diakses melalui http://en.m.wikipedia.org/wiki/colonial_mentality.
2. Situs
Resmi BPS (Badan Pusat Statistika) www.bps.go.id/
3.
Terjemahan Charles P.Loomis, yakni Ferdinand Tonnies, Community and Society(East
Lansing:Michigan State University Press, 1957).
4.
Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2013 tentang Desa
5.
Prastowo, Justinus. 2014. Ekonomi Insani. Yogyakarta : Marjin Kiri.
6.
Fauzi, Noer. 2005. Memahami Grakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Jakarta
: Insist.
0 komentar:
Posting Komentar