Refleksi Pasca AASC 2015 Dan Gerakan Kebudayaan Asia-Afrika










Hajatan besar telah usai. Prosesi demi prosesi yang dilalui menjadi memori di ruang pikir, begitupun beragam pertanyaan menggelisahkan pikiran. The Asian African Student’s Conference (AASC) tahun 2015 di kota Bandung ditutup dengan ditandai penandatanganan Komunike Akhir pada 1 Mei 2015. Kendati isu-isu penggagalan AASC sempat mencuat sebelum konperensi digelar, kenyataanya konperensi masih dalam batas kondusif dan berakhir sesuai jadwal yang direncanakan.

Namun, bukan berarti segala sesuatunya ikut paripurna. Ruang aplikasi dari komunike akhir masih tergambar buram. Terutamanya dalam ruang hidup kebudayaan Asia-Afrika sebagai penentu identitas peradaban dan nilai luhur Asia-Afrika yang telah digeser oleh dehumanisasi ala kolonialisme.

Apa yang terjadi usai perhelatan ini?, perubahan apa yang akan disebabkan AASC?, Bisakah AASC 2015 menjadi salah satu pemandu kebudayaan Asia dan Afrika yang masih di persimpangan jalan, atau hanya menjadi eventual dan semacam selebrasi masa lalu? masih membanyangi benak dan pikiran. Kendati komunike akhir akan diserahkan ke PBB melalui Kementrian Luar Negeri Indonesia bukan berarti itu menjawab persoalan.

AASC 2015: Euforia dan Cita-cita

AASC 2015 adalah konperensi kedua setelah 59 tahun silam digelar di tempat yang sama. Bandung pada 30 Mei sampai 7 Juni 1956 menjadi saksi gelaran konperensi mahasiswa Asia –Afrika yang dihadiri perwakilan 27 negara: Afganistan, Aljazair, Burma, Ceylon, RRC, Egypt, Iran, Indonesia, India, Japan, Yordania, Kamerun, Korea Utara, Laos, Lebanon, Madagaskar, Malaya, Maroko, Nepal, Pakistan, Filipina, Sudan, Syria, Togo, Tunisia, Republik Demokrasi Vietnam, dan Afrika Barat. AASC 1956 membawa semangat dari Konperensi ‘Induknya’: Konperensi Asia-Afrika ‘55.

Sejauh ini, penulis belum memiliki catatan tentang dampak apa yang dihasilkan AASC 56. Hanya saja, Emil Salim, kepala delegasi Indonesia dalam AASC 56 mengatakan 30 tahun pasca AASC 56 banyak delegasi menjadi pejabat penting di negaranya masing-masing. Tantangan AASC 56 adalah kolinialisme, sedangkan AASC hari ini adalah bagaimana membangun Asia-Afrika baru yang mengusai teknologi dan ekonomi pada tahun 2045 mendatang.[1]

Tenggang waktu telampau jauh. Dengan tema Reinvigoreting the Bandung Spirit: “Working Towards the Asian African Youth Leadership”, AASC 2015 diformulasikan dalam 6 komite dan menghasilkan komunike-komunike yang ditandatangani seluruh peserta komite masing-masing. Keenam komite itu antara lain: 1) Leadership to promote the Asian-African cultural values, 2) Leadership to promote the inclusive education, 3) Leadership to promote entreprenuership and sosio-entreprenuership, 4) Leadership to promote the function of media as a pillar of democratization prosess, 5) Leadership to promote the open source for the digital independence in Asia and Africa dan 6) Leadership to promote the Asian African students global network. Menilik tema itu, AASC 2015 masih dalam ruang semangat KAA 55. Berarti, Dasasila bandung tetap menjadi ruh yang ditiupkan.

Dalam proposalnya, agenda AASC 2015 menyinggung the Asian-African Summit 2005 yang menghasilkan visi baru dalam the New Asian African Strategic Partnership (NAASP) sebagai langkah menghidupkan kembali Semangat Bandung pasca Perang Dingin. Skema kerjasama internasional antara negara-negara Asia-Afrika membuat lebih inklusif. Kemunculan aktor non-negara (swasta) di panggung internasional memaksakan untuk menintegrasikannya dengan peranan masyarakat bernegara dalam implementasi NAASP. Kebangkitan dan perbedaan tujuan aktor-aktor ini menjadi tantangan Asia-Afrika yang menuntut peranan aktif mahasiswa dalam kepemimpinan muda Asia-Afrika. Kerangka ini menjadi ide dari AASC 2015.

Namun, ada atmosfer lain. Peringatan KAA ke-60 yang digelar besar-besaran, bukankah bisa membiaskan kerangka gagasan yang telah dibangun. Adanya pertautan antara cita-cita dan euforia tentu tidak akan mempengaruhi arah strategis AASC 2015. Faktanya, hajatan besar ini telah mampu mengkonsolidir ratusan mahasiswa dari 42 negara-negara Asia dan Afrika.

Gerakan Kebudayaan: Orientasi Atau Mimpi

“......Kesenian, ilmu, dan Industri adalah dasar-dasar dari kebudayaan. Apabila kita sungguh-sungguh mau menjadikan kebudayaan kita indah, gembira, dan bahagia, maka kita harus mengusai dan mencurahkan perhatian kita terhadap kesenian, ilmu, dan industri.....”(Mukaddimah LEKRA 1950)[2]

Komite 1 atau komite kebudayaan dalam AASC 2015 ini dapat dikata penentu dari identitas Asia dan Afrika dalam historiograpy dan nilai semangat solidaritas yang didengungkan. Histori AA adalah hasrat menemukan jatidiri sebagai bangsa merdeka. Fase jaman AA mulai dari masa purba, imperium, pra-kolinial, dan kolonialisme merupakan gerak sejarah dan kebudayaan yang menentukan perubahan sikap, teknologi, ekonomi, dan sistem-sistem komunitas masyarakat dalam bingkai negara-bangsa. Artinya kelahiran Asia-Afrika baru proses kuasa budaya dan pengetahuan masyarakat Asia-Afrika.

Haryo Kunto Wibisono, Commite Lecture 1[3], memberi diskripsi tentang relasi budaya dan kuasa pengetahuan. Keduanya harus berjalan beriringan dan berorientasi pada reclaiming knowledge dan reclaiming humanity. Apalagi, jaman kolonialisme yang berjalan ratusan tahun merubah orientasi kebudayaan Asia dan Afrika ke ranah dehumanisasi. Pengetahuan dan peninggalan sejarah sampai hari ini dikuasasi negara ‘bekas’ kolonial menyulitkan rekontruksi kemanusiaan Asia dan Afrika. Bentangan peradaban Asia-Afrika masa lalu merantai dalam jejaring perdagangan laut yang mengagumkan. Jaringan global itu adalah ruang strategis benturan kebudayaan Asia-Afrika. Konteks dewasa ini tentu berbeda.

Menurut Ki Hajar Dewantara (1951) dalam tulisannya berjudul ‘Kebudayaan dan Tumbuh Kembangnya’ bahwa perjuangan manusia yang terhimpun dari tenaga-tenaga dinamis nan-revolusioner akan menciptakan semangat cultural revolution hingga menimbulkan apa yang dinamakan dengan social revolution. Dalam tulisan lain berjudul ‘Empat Usaha Kebudayaan’, Ki Hajar Dewantara (1951) mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia saat itu melalui Kementrian P.P dan K membentuk: 1) Panitia Persiapan Majlis Ilmu Pengetahuan, 2) Panitia Penyelidik Perguruan Tinggi Kesenian Indonesia, 3) Panitia Sejarah Nasional, dan 4) Balai Penyelidikan dan Pengajaran. Dewantara mengangap pembentukan empat panitia ini adalah ruang strategis dalam menumbuh kembangkan kebudayaan Indonesia.[4]

Sama halnya ketika outcame konsolidasi mahasiswa Asia-Afrika ialah terbentuknya Asian African Student’s Forum sama artinya menciptakan ruang strategis bagi kemajuan kebudayaan Asia-Afrika. Institusi ini adalah kelas kecil dari dinamika pengetahuan yang harus terealisasi dalam wacana kebudayaan Asia-Afrika. Kemudi intitusi ini jelas adalah dekolonisasi, dan tentu membutuhkan mekanik penggerak untuk memutar roda institusi ini.

Majalah Tempo Edisi Khusus (6 Oktober 2013) menyuguhkan ulasan sejarah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Sebuah lembaga kebudayaan yang pernah eksis dan memainkan peranan dalam dinamika kebudayaan di Indonesia. Menarik, konsep kebudayaan LEKRA bertalian erat dengan gerakan, revolusi dan ideologi. Itu artinya kerja budaya tidak cukup dengan nilai estetika. LEKRA mampu memanifestasi kebudayaan sebagai gerakan pendukung revolusi Indonesia dengan menghimpun seniman, sarjana, dan pekerja-pekerja kebudayaan lain untuk digerakkan menuju Republik Demokrasi Rakyat.

Orientasi kebudayaan ala LEKRA terpampang jelas melalui konsep 1-5-1. Angka ‘1’ artinya; Politik adalah panglima; politik sebagai cara dan orientasi berpikir, bukan organisasi dan bukan orang. Angka ‘5’ yaitu terdiri dari; 1. Memadukan kreativitas individu dan kearifan massa; agar karya tidak bertentangan dengan tradisi baik, adat dan cita-cita rakyat 2. Meluas dan meninggi; sebaran karya melebar dan berkualitas unggul, 3. Tinggi mutu, artistik dan ideologi; isi dan bentuk seni agar terpadu harmonis, 4. Memadukan tradisi baik dan kekinian revolusioner; tradisi yang positif dipadukan dengan cita-cita revolusi, 5. Memadukan realisme revolusioner dan romantisisme revolusioner; realitas yang mengarah ke pembaruan yang lebih baik dalam seni yang diungkapkan dengan estetika romantis, indah, dan penuh harapan. Dan angka ‘1’ terakhir yaitu Turba (Turun Ke bawah); melalui wawancara dan investigasi mendalam terkait kondisi dan harapan masyarakat.[5]

Sebab LEKRA memulai cultural movement-nya dari keikhtiyaran bersama bahwa Revolusi Indonesia 1945 dianggap gagal mengantarkan rakyat terbebas dari kolonialisme, feodalisme, dan imperialisme. Maka, kesadaran bersama mahasiswa Asia-Afrika yang akan menjadi obor gerakan kebudayaan Asia dan Afrika. Gagasan dekolonisasi bisa dibuat semacam spirit bersama dalam ruang orientasi kebudayaan Asia-Afrika.

Persingungan antara spirit revolusi ala LEKRA dan spirit dekolonisasi ala AASC pada dasarnya sama. Keduanya memiliki naluri pembebasan dan perlawanan terhadap kolonialisme atau neo-kolonialisme. Dari titik ini konsepsi LEKRA sangat bisa dan memungkingkan untuk diadopsi sebagai model gerakan kebudayaan Asia-Afrika. Berarti kata kunci awal adalah memaknai Koperensi Mahasiswa Asia-Afrika 2015 ini sebagai media konsolidasi kebudayaan Asia-Afrika.

Oleh : Anam Koenam, Ketua DPC GMNI Kediri

Daftar Bacaan

Buku

Supartono, Alexander.2000. LEKRA Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan 1950-1965. Jakarta: Skripsi di STF Driyakarya versi E-Book oleh Edi Cahyono’s Experience dalam http://www.geocities.com/edicahy/

Dewantara, Ki Hajar. 2011. Bagian Ke II: Kebudayaan (kumpulan tulisan). Yogyakarta: Majlis Tinggi Persatuan Tamansiswa.


Majalah


Majalah Tempo berjudul LEKRA dan Geger 1956 edisi khusus 6 Oktober 2013


Dokumen dan Artikel


Final Communique Asian African Students Conference 1956 Bandung (versi softfile)


Proposal of the Asia-African Students Conference 2015 (versi softfile)


“Memaknai Asia-Afrika sebagai Gerak Kebudayaan”(Versi Indonesia) oleh Haryo Kunto Wibisono yang disampaikan kepada peserta Asian African Students Conference 2015 Commite 1 pada 30 April 2015 di Bandung


Website


http://www.aasc2015.com/















[1] Pidato Emil Salim pada pembukaan the Asia-African Student’s Conference 2015 pada 30 April 2015


[2] Lihat di Alexander Supartono, “LEKRA Vs Manikebu; Perdebatan Kebudayaan 1950-1965” (Skripsi STF Driyakarya: Jakarta, 2000) versi e-book Edi Cahyono’s Experience di http://www.geocities.com/edicahy/


[3] Commite Lecture 1 adalah pemakalah yang menyampaikan fokus problem di komite 1 Konperensi Mahasiswa Asia dan Afrika 2015, agar diskusi di komite dapat terarah.


[4] Lihat di kumpulan tulisan Ki Hajar Dewantara, Bagian Ke II: Kebudayaan (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 2011) 77-79.


[5] Majalah Tempo “LEKRA dan Geger 1945” Edisi Khusus (6 Oktober2013) Hal. 178-179