Anakku, Anak Kita, Anak Sekolahan


Pendidikan bukanlah soal apa yang kita dapat, tapi apa yang kita hasilkan

Teringat kata-kata Bung Karno bahwa hanya butuh 10 pemuda untuk mengguncang dunia. Ya, sepuluh pemuda, tapi dari manakah sepuluh pemuda itu?. Mereka berasal dari anak-anak yang dididik oleh orang tua yang berkualitas, di lingkungan yang berkualitas pula. Anak-anak adalah penerus kehidupan yang kelak akan menetukan kemana dunianya akan dibawa. Dunia anak-anak seolah adalah dunia yang dibentuk oleh para orang tua, para nenek moyang mereka. Mereka seolah dipaksa untuk merealisasi konsep-konsep kehidupan yang terbangun di lingkungan dimana mereka bernafas dan bergerak.

Di tengah dinamika kehidupan yang semakin rumit, disana ada anak-anak. Mereka  beraktifitas, berdialektika dengan apapun yang mereka indera dan yang paling penting mereka haruslah “belajar”. Belajar papun yang memberikan dia pengetahuan, yang kemudian mampu menjawab ketimpangan-ketimpangan, kebobrokan-kebobrokan yang dilakukan para orang –orang tua yang (mengaku) bijaksana. Lalu apa itu “belajar”?  apa itu “pengetahuan”?.

Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen karena pengaruh lingkungan dan latihan. Perubahan perilaku adalah titik pijaknya. Dimana tranformasi perilaku baik secara akal budi maupun ruhani, karena disini akan terjadi perubahan atau kemunculan pola pikir (mainset)baru seiring dengan dinamisasi kehidupan masyarakat dan menyesuaikannya.Sedangkan “pengetahan” adalah kumpulan gagasan yang mampu menjawab pertanyaan bukan melontarkan pertanyaan atau dalam konteks lain, pengetahuan menjadi sangat tanggap dan reaksioner terhadap segala permasalahan.

Inilah konsep dasar tentang belajar dan berpengatahuan. Sehingga untuk selajutnya kita mampu merumuskan pendidikan ke depan dan merombak pendidikan hari ini yang carut – marut, tidak terkonsep visi dan misinya. Bayangkan anak- anak bangsa, anak – anak yang belajar di bangku sekolah tidak mempunyai kejelasan visi, misi dan konsep ke depan kehidupan mereka. Maka dari itu konsep dasar tentang belajar atau pengatahuan harus sudah menjadi hal yang sangat prinspil dan fundamen.

Bayangkan cerita ini, seorang presenter Talkshow bertanya kepada orang yang sangat intelek, katakanlah seolah pejabat. Ia bertanya, “bagaimana menurut bapak agar perekonomian bangsa ini menjadi kuat dan kokoh”, pejabat itu menjawab, “ya tentunya dengan bagaimana kita mampu menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya, penguatan ekonomi mikro dan sebagainya”. Inilah yang penulis maksud dengan salah mengartiklasikan pengetahuan, seperti seorang pejabat lakukan, ketika ia ditanya malah ia balas bertanya. Pengetahan yang pejabat miliki (dalam cerita) bukanlah pengetahuan, karena tidak mampu menjawab suatu persoalan malah memberikan pertanyaan baru atau pernyataan yang memunculkan pertanyaan – pertanyaan lagi.

Soal Pendidikan adalah soal Sekolah ?

Dimana tempat belajar anak? Dimana anak-anak dididik? Ya, tentunya moyoritas orang menjawab “di sekolah”. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir hari ini adalah pola pikir kerdil, karena menempatkan hal pendidikan di permasalahan sekolah saja. Padahal apabila berpikir kembali belajar tidak harus di sekolah dan bersekolah belum tentu belajar. Pendikotomian istilah “belajar” dan “bersekolah” menarik Ivan Illich untuk membuat sebuah karya yang berjudul Dishcooling sociaty (masyarakat tanpa sekolah).

Menurutnya, belajar tidaklah sama dengan bersekolah, karena bersekolah hanya tuntutan sosial yang kemudian banyak kehilangan esensi dari  belajar. Pendapatnya mungkin benar, jika menengok pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang terpaku pada permasalahan sekolah/kampus, banyak terjebak pada sebuah formalitas dan pada akhirnya pendidikan atau bersekolah menjadi sebuah tuntutan sosial buakan tuntutan akan kebutuhan akan pengetahuan. Sedangkan belajar adalah sebuah proses kehidupan menjadi yang lebih baik, msyarakat yang mapan akal budi dan ekonomi.

Tidak hanya itu, belajar adalah penyadaran. Pergeseran sosial dan terjadinay dinamisasi masyarakat harus diiringi kesadaran sosial, jangan sampai kesadaran sosial ini ditentukan oleh keadaan sosial. Memang dalam konteks lain kesadaran didorong oleh keadaan sosial, akan tetapi kesadaran ini menjadi kontrol sosial, sehingga beriringan dengan proses dinamika masyarakat.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan sekolah, yang menjadi tempat penggemblengan intelektual kadang tidak memberikan penyadaran terhadap kondisi sosial dan menjadikan sekolah sebagai penentu klas sosial bukan penjawab kondisi sosial. Maka apabila itu terjadi, benar kata Soekarno “intelektual menjadi pusat pembodohon yang menjadikan ketidak mengertian menjadi suatu penindasan, emosional menjadi menjadi lahan kerja sama mengggapai harta dan kekuasaan yang akan menimbulkan jurang- jurang  kehancuran, spiritual dijadikan alat manipulasi kebenaransehingga kebenaran menjadi suatu ijtihad kekasaan”.

Merangkai Konsep Pendidikan Masa Depan

Coba kita berpikir, antara anak yang memilih jalan masa depannya sendiri ataukah anak dikonstruk untuk menjadi apa yang diinginkan oleh penkonstruk. Dilematis apabila kita berpikir seksama, bayangkan seorang anak petani yang memiiki lahan cukup luas, akan tetapi anaknya bersekolah atau kuliah di jurusan kependidikan (seumpama), sesuai keinginannya sendiri dan memungkinkan orang tuanya menjual tanah garapannya untuk menjadikan anaknya cepat diangkat menjadi PNS ataukah menyuruh anaknya kuliah di bidang pertanian, diharapkan si anak mampu mengembangkan usaha di bidang pertanian sesuai dengan profesi ayahnya seorang petani. Nah, dari kedua analogi di atas mana yang kita pilih? Seorang anak yang dibiarkan memilih jalan hidupnya atau anak yang yang dikonstruk sesuai misi orang tuanya.

Hal inilah yang kita titik pijak permasalahan pendidikan. Ketidakadanya konsep, visi, misi yang jelas dari si anak, orang tua ataupun lingkungannya. Yang kemudian menjadikan pendidkan (dalam hal ini sekolah) sebagai lumbung-lumbung pengangguran baru dan permasalahan baru di masyarakat. Seharusnya anak – anak bangsa, anak – anak sekolahan menjadi penerus dan penjawab permasalahan kemarin, bukan sebagai sampah – sampah baru yang menumpuk.

Dalam merangkai konsep pendidikan masa depan dibutuhkan suatu langkah revolusioner dalam mendobrak paradigma yang salah. Ada beberapa konsep sederhana tentang pendidikan hari ini, seperti adanya sinkronisasi antara dunia pendidikan (sekolah) dan realitas, pendistribusian hasil didikan sesuai kebutuhan realita, adanya langkah difensif terhadap serangan budaya asing, adanya reorientasi dari kebutuhan pendidikan sebagai kebutuhan formil menjadi kebutuhan produktiitas, dengan memberikan makna apabila berproses di sekolahan hanya menambah kebutuhan konsumtif, maka tidaklah pantas untuk bersekolah.

Banyak hal sebenarnya yang harus kita evaluasi terkait anak – anak kita, anak – anak sekolahan, anak – anak rakyat yang hari ini pikirannya terpenjarakan dalam bingkai intelektual. Karena mereka kita akan terus ada, karena mereka kita dikenang, karena mereka kita dapat hidup selamanya, selama udara O2 masih dihirup dan akal masih berpikir, budi masih diukir di raga anak – anak kita, anak – anak pendidikan.

Oleh: Anam Koenam


*Tulisan dibuat pada tahun 2013, dan telah diterbitkan di Majalah Kampus DeDIKASI