Mahasiswa : Di antara Agresi Modernitas dan Kemelorotan Spirit Berorganisasi




Bahwa seseorang hanya dapat memperoleh makna eksistensialnya 
dalam kemampuannya berbakti pada kebersamaan – Yudi Latief

Gelombang kebebasan individu (libertarianism) menggelontor masuk secara penetratif berbarengan dengan proyek demokratisasi global yang merangsek ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Jatuhnya rezim orde baru pada medio ’98 dijadikan sebagai sebuah seremoni menyambut segala bentuk ekspresi kebebasan untuk hidup dan beranak pinak di negeri ini, kebebasan menjadi sebuah hal yang langka untuk ditemui selama 32 tahun rezim pure power orde baru sehingga banyak kalangan yang menganggap wajar jika rakyat Indonesia dengan gegap gempita menyambut hadirnya Demokrasi yang diasumsikan kongruen dengan spirit kebebasan terutama jika mengacu pada slogan umum demokrasi yaitu egalite, fraternite, dan liberte (Persamaan, Persaudaraan dan Kebebasan).

Kebebasan menjadi sebuah imperatif bagi munculnya kreatifitas serta inovasi individual sehingga masyarakat Indonesia secara umum akan unggul dalam skema pasar bebas (free fight competition) sesuai visi perkembangan ekonomi global hari ini, sehingga di masa yang akan datang Indonesia sebagai sebuah negara bangsa diharapkan akan menjadi negara raksasa di dunia (setidaknya bukan negara dunia ketiga). Kurang lebih hal tersebutlah yang menjadi cita-cita besar para pemikir liberal menyambut menggelontornya keran demokrasi di Indonesia, meskipun pada dasarnya hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang disampaikan wakil presiden Indonesia Pertama Moh. Hatta

“Dalam sistem kapitalisme free fight competition tidak dapat diharapkan, bahwa orang Indonesia, yang hanya pandai melaksanakan segala hal kecil, akan dapat naik keatas. Kecuali berjejaring dalam usaha bersama yaitu koperasi untuk meningkatkan selangkah demi selangkah kehidupan rakyat jelata”.
Setidaknya dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya Hatta beranggapan jika kebebasan individu (Individualism) akan sulit beroperasi dalam garis kontur kehidupan masyarakat Indonesia, ketimbang memaksakannya untuk dijalankan. Hatta lebih menganjurkan untuk menjalankan kegemilangan lokal (local genius) masyarakat Indonesia yang termanifestasikan dalam semangat kekeluargaan yaitu gotong royong.

Dalam pengaruh demokratisasi yang membahana secara global agaknya sulit untuk mengelak dari dikte-dikte persepsi yang percaya bahwa kebebasan individual adalah satu-satunya cara manusia untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemaslahatan hidup lengkap dengan slogan-slogan mutakhirnya seperti TINA (There is no alternative) dan perlindungan terhadap hak-hak asasi. Pada kenyataannya spirit kebebasan individual belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi rakyat di negeri ini, pasar tetap didominasi oleh tirani elit pemilik modal, kebebasan hanya dapat dinikmati dalam tempo beberapa menit dibalik bilik suara dalam menentukan struktur kedudukan eksekutif dan legislatif, diluar itu semua rakyat malah semakin tertekan oleh ragam kebijakan yang dirumuskan secara arbitrer dan terpusat serta wataknya yang vertikal jarang sekali melibatkan rakyat sebagai variabel yang idealnya menjadi sumber dari segala bentuk kedaulatan.

Bagaimana dengan generasi muda? Generasi muda hari ini acapkali sinonim dengan mahasiswa yang menjadi simbol dari banyak peristiwa monumental di negeri ini. Ngeri-ngeri sedap jika mahasiswa sudah sampai turun kejalan sebagai artikulator kaum tertindas. Penguasa akan bergidik ngeri bahkan secara reaksioner menggunakan aparatus kekuasaannya untuk menghentikan aktifitas mahasiswa yang dianggap akan membahayakan. Oleh karenanya wajar jika mahasiswa di negeri ini selalu menjadi ancaman serius bagi konfigurasi kekuasaan yang sedang berdiri. Namun ironisnya, Mahasiswa sebagai kelas yang merepresentasikan generasi muda sedang terbelit dalam buaian hedonisme dan budaya hidup yang konsumeristik sebagai ekses dari individualisme liberal.

Mahasiswa hari ini lebih aktif dalam memburu kemewahan dan keindahan-keindahan lengkap dengan paradoksikalitasnya ketimbang mengaktualisasikan diri pada ruang-ruang yang produktif seperti berhimpun dan berorganisasi, meskipun dalam hal ini  mahasiswa bukanlah satu-satunya unsur masyarakat yang patut untuk dipersalahkan. Bagaimana tidak, mereka (kita) dipaksa untuk mengkonsumsi dan mengamini cara hidup hedonistik dan konsumeristik lewat berbagai media yang direproduksi setiap hari (iklan, sinetron, seminar motivasi, produk kebijakan dan hal lain-lain). Tidak ada unsur proteksi yang membuat budaya hedonistik dan konsumeristik tersebut menggelontor masuk mewabahi generasi muda di nyaris seluruh penjuru negeri, jauh mengungguli kearifan lokal yang telah hidup berurat akar selama ribuan tahun di negeri ini.

Perilaku konsumtif dan senang bermewah-mewahan yang hari ini digandrungi oleh mahasiswa berbanding lurus dengan semakin melorotnya kesadaran berorganisasi serta berhimpun sebagai perwujudan budaya hidup kolektif yang menjadi musuh bebuyutan individualisme, alih-alih bergerak dalam sel-sel organisasi, mahasiswa hari ini lebih senang mencibir organisasi sebagai tempat bagi orang-orang yang kuper (kurang pergaulan) dan ga asik. Jika ditarik lebih jauh pandangan tersebut tidak semata-mata jatuh dari langit sebagai hukuman dari yang maha kuasa, kesadaran tersebut lahir dan tumbuh lewat interaksi yang intensif dengan lingkungan material yang ada disekitarnya.

Ide-ide, corak mental, peran dan persepsi diri memang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi material serta batas-batas tradisi intelektual dan kultural yang terbangun secara historis (Anthony Giddens.

Meskipun di sisi lain terdapat kemungkinan bahwa tindakan dan kemauan manusia sendiri sebagai aktor sosial (human agencies) bisa menumbuhkan reaksi dan membawa perubahan terhadap kondisi sosial yang melatarbelakangi kehidupannya. Karena manusia bukan sekedar robot yang bisa digerakan oleh tangan diluar dirinya, manusia dianugerahi kesadaran untuk menginterpretasi dan mengubah lingkungan sekitarnya lewat perilaku yang bersifat praksis kendatipun sedang ada dalam dikte wacana yang universalistik terhadap sebuah nilai re : memandang hidup.

Bahwa melorotnya kesadaran mahasiswa untuk berorganisasipun bukannya tanpa sebuah alasan, disamping tentu saja seluruh level organisasi lintas sektoral dan linial harus mengintrospeksi diri terhadap kegagalannya dalam menjaga semangat bangsa dalam berorganisasi. Setidaknya ada dua alasan yang bisa didiskusikan secara rasional

Pertama, mahasiswa yang hari ini didisiplinkan untuk segera masuk dalam sirkulasi produksi, segera lulus perkuliahan dan menjadi pekerja kerah putih, mendapatkan pekerjaan, mendapatkan gaji yang tinggi, istri cantik/suami tampan, memiliki anak-anak yang sehat, memiliki kendaraan (mobil) dan rumah pribadi. oleh karenanya aktifitas diluar perkuliahan yang dianggap akan menghambat proses kelulusan perkuliahan akan dijauhi dan dianggap tidak lagi penting.Kedua, Organisasi yang hari ini dipandang memiliki kesebangunan dengan Politik (Politik pragmatis) secara umum dianggap memiliki perilaku hidup yang sama (similarity) dengan organ-organ politik (partai) yang hari ini hilir mudik di berbagai stasiun televisi untuk mendapatkan simpati masa. Politik di Indonesia yang nampaknya sedang berada di titik nadir karena perilaku para politisinya yang dianggap pongah, picik serta mencari keuntungan sendiri secara tidak langsung mendegradasi nila-nilai yang selama ini identik dengan organisasi, peristiwa semacam ini disangkal ataupun tidak secara signifikan mempengaruhi cara pandang manusia terutama sekali Mahasiswa

Kedua alasan tersebut masih bisa diperdebatkan kevalidannya karena sifatnya yang 
berbentuk tesis, bukan dalil-dalil kenabian yang bersifat absolut dan kekal.

Sejarah menampilkan sebuah fakta bahwasannya perubahan-perubahan besar acapkali dimotori oleh minoritas kreatif dengan gagasan-gagasan besar, bukan sebaliknya bersumber dari dikte-dikte mayoritas. Masa depan umat manusia masihlah terhampar luas untuk disongsong dengan gilang gumilang, tidak ada alasan untuk menatap ragu bahkan apatis terhadap apa yang hari ini terjadi juga apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Dalam kondisi sulit sekalipun rasanya tidak ada kata yang bisa membenarkan kita semua untuk berhenti dan diam, oleh karenanya tetaplah berhimpun, berorganisasi dan bergerak bersama sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Agar kita menjadi bagian dari ikhtiar kolektif maha besar yang harus diambil oleh bangsa ini, agar kita menjadi sepadu mungkin dalam menjalankannya, tiap orang dengan cara berfikir yang berbeda namun tetap berupaya berkontribusi terhadap karya yang hidup sebagai manusia

Fahmi Iswahyudi

ketua DPC GMNI Bandung
SHARE

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kediri

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image

0 komentar:

Posting Komentar